Sedikit demi sedikit, ia merapat ke daerah pagar monas yang dirasa
aman dari tembakkan. “Eh kita ke kanan malah ditembakin juga, saya bawa
tuh Pak Oye,” katanya. Ia pun mundur sedikit dekat dengan pepohonan dan
pagar. Di atas mobil, ulama terus berzikir, meminta massa agar tidak
maju dan meminta polisi untuk berhenti menembak. (baca laporan pandangan
wartawan anggota JITU di tempat kejadian)
Sejenak menepi dari tembakan yang terus menderu, Suganda hanya bisa
menahan sesak dan mual. “Saya lihat ke sebelah saya, ternyata beliau
sudah pingsan. ‘Ye bangun Ye’” Suganda menepuk-nepuk pipi Pak Oye. Di
tengah kalap dan gemuruh, Oye meminta bantuan lima hingga enam orang
sekitarnya.
“Saya bopong berlima, ke kiri, eh udah ada gas air mata. Kita ke
kanan juga disemprotin gas air mata, kita sampe ke pagar tinggi, mau
lewatin beliau, tapi ya Allah, di situ ada pagar ada tombaknya, ga
mungkin kita lempar beliau ke sana,” lirih Suganda.
Massa semakin panik setelah polisi meringsek aksi damai dan
menembakkan gas air mata ke arah para ulama yang menyerukan aksi damai.
Suara takbir, tahlil hingga tahmid pecah. Suganda terpojok ke pertigaan
monas, terpepet. “Saat itu ada coran pembatas mobil itu, saya terjatuh,
tergeletak,” kata Suganda.
Sejak detik itu, entah ke mana jasad Pak Oye yang saat itu entah
masih pingsan, sudah sadar atau ternyata meninggal. Saat bersusah payah
bangun, Suganda melihat pemandangan yang begitu dramatis. “Saya lihat
orang-orang pingsan, ga tua ga muda,” lirihnya.
Di tengah kepanikan massa, dan keteguhan para ulama yang terus
bergeming walau ditembaki gas air mata, Suganda mencari-cari Pak Oye ke
sana ke mari, bertanya-tanya hingga masuk ke dalam monas ke pos medis.
“Di Posko sudah nggak ada, ada yang bilang ke rumah sakit Polri Kramat
jati,” katanya.
“Mulai saat itu tiba-tiba saya lemas, saya kehilangan jejak,”
keluhnya. Tak hilang kendali, ia berusaha mengontak putra Pak Oye,
Gilang, yang juga mengikuti aksi bela Islam. “Cing posisi di mana?”
tanya suara di balik telepon sana yang baru bisa dihubungi, karena sejak
tadi siang entah mengapa sinyal di sekitaran istana mati.”
Kabar Duka
“Jam Sembilan lewat tiga, saya dapat kabar dari warga Binong juga, ada kabar dari rumah sakit Gatot Subroto kalau beliau sudah meninggal. Seakan nggak percaya, innalillahi wa innailaihi rajiuun,” lirih Suganda mengenang kejadian yang begitu mengagetkannya.
“Wafatnya beliau mengajarkan kita bahwa walau beliau sepuh, beliau
tetap ingin mengikuti perjuangan untuk membela al Qur’an,” kata Dede
Winata mengenang. Di pengujung usia senjanya, Pak Oye menorehkan jejak
yang membuat keluarga, warga hingga pemerintah setempat bangga.
“Beliau salah satu orang yang terpilih dari sekian banyak yang
akhirnya meninggal. Semua masyarakat merasa bangga. Di sini orang-orang
pada bilang, cocoklah kalau Pak Syachrie yang dapat (syahid, red). Semua
anak-anak dan warga bangga dengan beliau,” kata Hermalina tersenyum.
Cukuplah Musholla Bina Ihsani yang ia rintis 20 tahun silam menjadi
saksi atas penuh sesaknya shalat jenazah beliau. Cukuplah jutaan muslim
yang ikut aksi bersama menjadi saksi bahwa dia menjadi bagian dari
mereka. Cukuplah berbodong-bondong warga hingga Bupati menghormati
kepergiannya.
Cukuplah orang-orang yang walau belum pernah menatap wajahnya, kini
berdatangan dari pelbagai daerah di Indonesia ke lorong rumahnya yang
tak terlalu lebar. Kisah heroik Pak Oye kini meluber, anak-anak muda di
sudut-sudut gang membincang kisahnya, para remaja hingga orang dewasa.
“Insya Allah beliau Syahid,” kata Bupati Kabupaten Tanggerang M Aziz
saat melayat ke kediamannya. Pak Oye, mengajarkan kita semua tentang
makna perjuangan. “Ternyata Allah kabulkan ucapannya, jika ada satu
mujahid yang gugur, maka itulah beliau,” tegas Dede disambut takbir
hadirin yang memenuhi jalanan di depan kediamannya.
“Sungguh, kami semua iri dengan beliau, semoga kita semua dapat
melanjutkan perjuangan beliau, doakan beliau agar Allah menerima amalNya
dan mendapat surgaNya,” tutup Gilly, putra sulung Pak Oye menutup kisah
tentang heroisme ayahnya.
Penulis: Rizki Lesus, wartawan anggota Jurnalis Islam Bersatu (JITU)
0 Komentar
BerKomentarlah yang sopan dan bijak